Qudsiyyahputri.com. KH. Ma’ruf Asnawi lahir pada pada hari Kamis tahun 1911 atau 1329 H. Silsilahnya adalah KH. Ma’ruf bin Asnawi bin Abdurrahman bin Sayyidah A’isyah binti Habib Ahmad bin Habib Ibrahim Bafaqih (Sunan Puger). Beliau dikenal sebagai khalifah Tarekat Syadzaliyah di Kudus. Sedangkan posisi mursyid dipegang langsung oleh KH. Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan. Pusat kegiatan tarekat ini adalah di Jumutan Demangan dan Kauman Menara. Sampai saat ini pengurus tarekat Syadziliyah sudah mempunyai lahan tanah untuk dijadikan pusat kegiatan tarekat yang bertempat di Kaliwungu Kudus.
Sebagaimana diungkapkan oleh KH. Nur Halim, tarekat syadziliyah (sebutan yang asli di kitab Mafakhir adalah Syadzzaliyah nisbat tempat Syadzzalah), Mujiz awalnya memang Habib Luthfi. Namur Habib Luthfi pernah dawuh untuk memudahkan orang dlu’afa’ (likibari sinnihi, sepuh atau lidla’fi malihi, anak muda tidak punya biaya) KH. Ma’ruf Asnawi pernah mbadali bai’at. Khalifah yang disandang itu atas perintah Mursyid. Karena Habib Luthfi kasihan dengan orang Kudus yang datang ke Pekalongan, tapi tidak ketemu Habib, maka bisa dibai’at KH. Ma’ruf Asnawi. “Kanggo sing sepuh mbah atau yang gak punya biaya” kata Habib.Orang Kudus yang pertama bai’at tarekat ke Pekalongan adalah H. Chambali Balaitengahan. Sedangkan “Mbah Ji”-panggilan akrab KH. Ma’ruf Asnawi-baru bai’at tahun 1975. Mulanya ia menjadi murid biasa puasanya 3 hari; kamis, jum’at dan sabtu. Ahadnya dibai’at Syadzaliyah. Kepergiannya ke pekalongan naik bis ditemani putranya Mahfudh Nur. Murid tarekat dari Kudus angkatan “Mbah Ji” kira-kira ada belasan orang, yaitu:
- H. Raden Hambali
- Hasyim Tepasan
- H. Tahar Prambatan
- H. Hanafi Balaitengahan Langgardalem
- As’ad Demaan
- H. Khoiron Damaran
- H. Muhklas Damaran
- H. Mahfudl Ma’ruf (1980)
- Letnan Daeng Demaan (ABRI)
- Letnan Sutoyo Demangan
- Pak Dul (Burikan nikah dapat Solo)
Konon cerita, pada tahun 1985 ketika KH. Ma’ruf Asnawi diangkat khalifah beliau masih takut. “Mboten Bib, kulo kok dadi khalifah, kulo taseh kethoh dung pripun Bib?” Habib jawab: “Ngeten Mbah, kulo ngendiko niki mboten ngendiko piyambak, nanging instruksi saking Njeng Rasul, Njeng Rasul mangguihi kulo” kata Habib. Dan kemudian ia ditanya Habib: “Piye mbah Ma’ruf?”.
Secara tegas KH. Ma’ruf menyatakan ketidaksediaannya karena menganggap dirinya belum mampu. Namun lagi-lagi dawuh dari mursyid harus dipatuhi. Habib Luthfi juga menyatakan: “Kamu jadi muridku kok takut jadi khalifah, saya takut kalau dimarahi Nabi Muhammad. Nabi shadiqul mashduq Mbah”. Akhirnya dawuh ini beliau iakan. “Ngoten Bib, ngeh sampun. Nanging sak dongi mboten wadahe, kulo ngih sami’na wa atha’na” ujar Ma’ruf tulus.
Setelah itu Habib memberikan ijazah untuk puasa 1 minggu mulai hari Kamis. Setelah selesai puasa, Mbah Ji kembali sowan ke Pekalongan dengan umbal bis. Setelah sampai sana, Habib mengenakan baju kebesaran tarekat sebagaimana Qadli yakni memakai jubah hitam dan surban hijau. Sebelumnya ia berwudlu dulu dan membaca amalan syahadat, shalwat, istighfar dan dzikir. Prosesi bai’ai dimulai dengan jabat tangan sambil duduk dengkul-dengkulan (antar lutut ketemu dan berhadapan). Kemudian Habib mulai memba’iatnya: “Ajaztuka min tariqatis syadaliyah“. Dengan tegas KH. Ma’ruf menjawab: “Qabiltu“.
Dijelaskan oleh Habib saat itu bahwa posisinya adalah membantu orang yang mau bai’at tarekat ini. “Maksude ngewangi kulo (badalku) karena guru mursyid syughul-nya banyak” kata Habib.
Kegiatan rutin tarekat ini adalah pengajian rutin pada Jum’at Kliwon. Kegiatan lainnya adalah Haul Syekh Syadzali, dan setiap malam Selasa pengajian kitab Mafakhir, bacaan manaqib syadzaliyah, maulud malam senin sebulan sekali setiap 12 (dan tiap bulan Rabi’ul Awal dilaksanakan 12 hari).
Tarekat ini banyak diminati oleh kalangan muda. Rata-rata pengikutnya adalah guru, pedagang dan masyarakat biasa. Dalam mengirim fatihah juga tidak seperti layaknya tarekat yang lain dengan menyebut semua guru mursyid. Amalan tarekat ini sangat sederhana. Tarekat ini didapatkan Habib Luthfi dari Mbah Sayid Abdul Malik Purwokerto yang jalur sanadnya sampai Sayyidina Ali.
Kalau membaca hadlrah (kirim surat fatihah) pertama adalah ibtigha’a mardlatillah. Kedua kepada Nabi wailihi. Dan ketiga kepada Syekh Syadzali dan sadati al-thariqah wa ushulihi wa masyayikhihi ila Rasulillah. Dan keempat ke mujiz, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thaha bin Yahya.
Bacaan wiridnya adalah istighfar 100 kali, shalawat 100 kali, dan kalimat thayyibah 100 kali. Untuk kalimah thoyyibah dianjurkan dibaca dengan dzikir khafi (suara dalam). Bacaan tahlil: La dimulai dari puser naik sampai dada hingga mahdlatul fikri (pusat pemikiran) sehingga lupa dunyawiyah terus ditarik sampai lengan kanan. Illallah masuk ke jantung kiri. Kalau digambar seperti Lam Alif yang terbalik.
Yang perlu ditegaskan dalam tarekat ini adalah murid itu menjadi “warga tarekat”, bukan ahli tarekat. Kalau menyebut ahli nampaknya terlalu ketinggian, dan akan muncul takabbur. Karena dia merasa sudah ahli ngibadah dan mudah digelincirkan. Dalam manaqib disebutkan: Walaqad adlathu bimitsli hadzihil waqi’ati sab’ina min ahlitthariq, qad abahtu lakal muharramat.